Minggu, 19 April 2015

Membangun Karakter Anak Cara Jepang

Suara riuh anak-anak di pagi hari memancing rasa penasaran saya untuk sekadar melihat apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat sekelompok anak sekolah dasar (SD) Jepang sedang berjalan kaki beriringan. Baju yang dikenakan seragam. Tas sekolah yang digendong terlihat besar, sarat dengan muatan. Belum lagi tambahan botol minuman dan peralatan olahraga.

Rasanya hampir di seluruh Jepang, baik di kota besar seperti Tokyo maupun daerah pedesaan, anak-anak SD berjalan kaki. Mereka berjalan secara berkelompok ketika pergi maupun pulang sekolah. Mereka tak boleh diantar. Tak peduli, jarak rumah ke sekolah itu jauh ataupun anak SD itu berasal dari orang kaya ataupun pejabat.


Selintas, semua itu hanya terlihat biasa. Tapi jika dimaknai, fenomena semacam ini sungguh menarik. Jepang sebagai negara maju dan modern ternyata dalam mendidik generasi muda telah sejak dini mencoba melepaskan diri dari ketergantungan teknologi. Lalu, kenapa mereka melakukan itu? Saya menangkapnya ini salah satu cara membangun karakter. 

Pertama, dalam membangun karakter kepemimpinan. Setiap kelompok selalu ada pemimpin yang memegang bendera kuning. Tugasnya mengatur pergerakan dan bertanggung jawab terhadap jumlah anggotanya. Jika satu tidak ada, tugas pemimpin mencari tahu alasan mengapa anggota tersebut tidak hadir. Alasannya harus diketahui dan menjadi laporan kepada sekolah.

Perlu dicatat, membangun karakter kepemimpinan berarti selalu memimpin dan menjadi pemimpin. Tapi ia juga harus ikhlas jika suatu saat harus dipimpin. Di negeri ini, banyak orang yang mau menjadi pemimpin tapi tidak rela untuk dipimpin. Olah karena itu, dalam kelompok yang ditunjukkan oleh anak-anak SD di Jepang itu diperlihatkan proses pergantian pemimpin. Setiap yang tergantikan harus mau mengikuti pemimpin barunya dan secara dini mengajarkan bahwa proses suksesi kepemimpinan bukanlah sesuatu yang dilarang.

Kedua, membangun karakter empati. Setiap orang yang berpapasan, anak-anak SD itu harus proaktif mengucapkan salam: "Ohayo Gozaimasu!" atau "Konnichiwa!" sambil membungkukkan badannya. Kadang mengucapkan: "Summimasen!", memohon permisi meminta jalan.

Tidak dipungkiri bahwa karakter terbangun dan teruji di jalan. Apakah kita rela memberikan jalan kepada orang terlebih dahulu atau tidak peduli sama sekali. Apakah kita bisa bersabar saat lalu lintas padat dan macet lalu tidak tergoda untuk melanggar peraturan. Atau bahkan mengeluarkan kata-kata sumpah serapah yang memicu pertengkaran.

Pada saat saat berjalan secara berkelompok, mereka telah diajarkan tata cara menggunakan jalan dengan benar. Kegiatan ini terus menerus dibentuk hingga menjadi kebiasaan sampai mereka besar.

Ketiga, membangun karakter mandiri dan penuh daya juang tinggi. Setelah luluh lantah oleh Sekutu pada PD II, Jepang membangun negaranya kembali dari nol. Mereka bergerak cepat dengan kemandirian yang tinggi dan tentunya dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Akhirnya mereka dapat mengembalikan lagi kejayaan mereka.

Nilai karakter ini pulalah yang ingin mereka tanamkan. Sejak pendidikan dasar, nilai kemandirian ini ditanamkan melalui kegiatan berjalan kaki sejauh apapun jarak dari rumah ke sekolahnya. Jangankan motor, sepeda pun tidak diperkenankan. Ditambah lagi tas sekolah yang sarat muatan harus mereka bawa sendiri.

Lelah dan capek? Sudah pasti. Tapi mereka dipaksa keadaan harus sampai ke sekolah dan kembali ke rumah dengan selamat. Mereka harus gigih dalam menggapai asa mereka. 

Mereka sadar bahwa negara mereka bukanlah negara yang memiliki limpahan kekayaan alam. Hidup di Jepang menyakitkan. Menahan dingin menusuk tulang di musim dingin dan menahan terik yang membakar dan udara panas di musim panas. Karenanya, mereka butuh generasi yang punya jiwa kepemimpinan yang kuat, disiplin, memiliki kemandirian, tidak manja, tahan banting, dan penuh karakter perjuangan.

Unik tapi begitulah cara Jepang membangun karakter generasi penerus dengan berjalan kaki saat pergi ke sekolah. Lantas bagaimana dengan kita?

Oleh: Abdul Ghafur, ST, M.Ed (Alumni IDEC Hiroshima University-Japan)
REPUBLIKA.CO.ID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar